Mungkin sobat-sobat pembaca khususnya yang berasal dari Sulawesi
Selatan pernah mendengar tentang komunitas adat Towani Tolotang.
Komunitas ini adalah sebuah kelompok masyarakat bugis yang punya
kepercayaan dan ritual sendiri di luar lima agama yang diakui di
Indonesia, walaupun pemerintah memasukkan kelompok ini dalam naungan
Agama Hindu, tapi dalam kesehariannya ataupun dalam perayaan hari
besarnya komunitas ini punya ciri khas yaitu memakai kopiah hitam
seperti layaknya orang Islam tetapi sebagian besar tidak memakai alas
kaki.
Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidrap,
Sulawesi Selatan komunitas Towani Tolotang ini berkembang dan bermukim
sejak ratusan tahun lalu. Komunitas ini, terjaga secara turun-temurun
dan terus berkembang hingga sekarang ini. Bagi sebagian orang, ketika
mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang
sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal
layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama
sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8
km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama
setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231
km. Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan
masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap
menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis. Hanya saja, mereka
punya kepercayaan berbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.
Menurut sejarah yang berkembang kepercayaan ini berasal dari
Kabupaten Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang
membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun
lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat
Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan
ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai. Acara
adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan
pesan dari Ipabbere. Ipabbare berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak
ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh
warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta,
Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan anak-anak saja
yang tak hadir setiap Januari itu.
Beberapa tahun lalu komunitas ini diakui oleh pemerintah sebagai
aliran kepercayaan. Namun karena ada kebijakan pemerintah yang hanya
mengakui lima agama di Indonesia, maka pada tahun 1996, pemerintah
menawarkan tiga pilihan ke warga Tolotang untuk memilih antara Islam,
Kristen atau Hindu. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas
Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran
kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun dan memilih untuk
bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas Tolotang
tetap terjaga. Sejak saat itu jika ada acara agama Hindu di luar Sulsel,
seperti Jakarta dan Bali, mereka selalu diundang secara khusus. Tapi
acara-cara ritual yang mereka lakukan sama sekali berbeda dengan agama
Hindu, hal ini juga dapat dilihat ketika perayaan Hari Raya Nyepi Agama
Hindu, tak ada kegiatan apa-apa di kalangan orang Tolotang.
Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada tahun 1966
berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam
tahun 1966. Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut mereka, alasannya
sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah
yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip. Terkait
sejarah komunitas ini yang berasal berasal dari Wajo. Komunitas ini ada
di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja
saat itu tidak berkembang seperti sekarang. Namun karena sebuah proses
sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo
rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi
Tolotang. Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17. Sejak itu,
Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan
yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga
saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.
KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu,
Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya
memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di
seluruh kecamatan.
Rumah Tokoh Adat tak Punya Kursi. Bentuk rumah para pemangku adat
Tolotang yang biasa dipanggil Wa’ (gelar ini merupakan sebutan tokoh
generasi penerus dari pimpinan adat yang diberikan secara turun temurun)
berarsitektur tempo dulu, dibawahnya terdapat beberapa balai-balai
terbuat dari bambu yang diraut kecil-kecil. Setiap kali balai bambu
rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan bekerja
bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu
teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal. Rumah tokoh
adat Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di
luar komunitas ini. Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah
tiang rumah yang segi delapan dan bundar. Rumah adat punya ciri khusus.
Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa.
Semuanya disesuaikan kemampuan. Bentuk tiang yang bulat itu punya makna
khusus. Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh
terus, dan dipegang teguh. Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang
masa.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah
kebanyakan. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan
pernah berharap menemukan satu kursi pun. Sebab memang rumah adat tidak
dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga biasa komunitas ini, itu
tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi. Rumah ini
menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara
keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-an rumah.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas
Tolotang, acara-acara lain juga masih sangat kental dengan nuansa
adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di
Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan berdasarkan hasil
tudang sipulung (musyawarah) tokoh adat. Biasanya para tokoh adat
disaksikan warganya berembuk menentukan hari baik. Saat hari H juga
mereka punya acara adat, massempek (saling tendang, Bahasa Bugis). Dulu,
massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan
yang muncul dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti
oleh anak SD.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik
minat peneliti dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari
Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sudah sering ke Amparita
untuk secara khusus mendalami komunitas ini. Mereka menanyakan budaya
Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak
tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin
menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di
komunitas ini.
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang.
Hingga kini, jumlah mereka secara keseluruhan,– termasuk di sejumlah
provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40 ribu orang. Namun sayangnya,
hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini
sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan
komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal
komunitasnya. Sebab urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh
adat yang biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu komunitas ini,
harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang
membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya
komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun
temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya
konsisten). Mereka tidak pernah berubah dan tidak terpengaruh dengan
kondisi apa pun.
Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan
pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan
untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku
tokoh yang memberi pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut
ustaz. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa
warga komunitas ini yang akhirnya berubah haluan. Mereka lebih memilih
keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. Banyak yang bergeser masuk
Islam, bahkan banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak
ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah
satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan komunitas ini memang cukup ketat
dalam masalah pernikahan, semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk
Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab
dari awal, warga Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban
dengan masyarakat yang lainnya. Mereka selalu rukun dan damai. Sebab, di
Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata punya
hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili
dengan mereka hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita. Saya
sendiri (Ladewa) menikah dengan wanita Amparita yang juga memiliki
beberapa family dari komunitas Tolotang. Mereka juga menegaskan bahwa
komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. hanya bedanya
dalam hal kepercayaan saja. Bahasa yang mereka gunakan juga bahasa
Bugis.
Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang,
kebanyakan mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang
memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada
warga mereka yang keluar dari Tolotang dan tidak pernah dipermasalahkan.
Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau
bergabung dengan Tolotang. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan,
bisa jadi tertutup. Sebab, prinsip mereka, Tolotang tidak berkembang
dengan menerima orang lain tapi mereka berkembang berdasarkan anak cucu.
Oh ya, sebagian besar dari orang-orang Tolotang ini berprofesi sebagai
petani.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan
Tolotang yang menganut Islam, para tokoh adat membenarkannya. Namun
menurut mereka orang-orang ini tak lagi diakui. Tapi konon kabarnya,
mereka juga punya Uwa. Tapi mereka tetap rukun dan tidak saling
mengganggu. Bersambung ke Bag. II…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar